Memori 1978, Haruskah Terulang?
RABU, 10 November 2010. Persib akhirnya terjebak di zona degradasi, menyusul kemenangan Persijap Jepara atas Persisam Putra Samarinda 1-0 pada laga lanjutan Liga Super Indonesia (LSI) 2010-2011 di Stadion Gelora Bumi Kartini Jepara. Gol tunggal Youn Son Min pada menit 16 membuat tim berjuluk "Laskar Kalinyamat" ini menambah poin yang dikumpulkannya menjadi 7, dan beranjak meninggalkan posisi 15, peringkat yang berada di zona merah. Nah, Persib yang sejak kekalahan 0-1 dari PSPS Pekanbaru di Stadion Kaharudin Nasution Pekanbaru, 2 November lalu, berada di bibir jurang degradasi (peringkat 14) dengan koleksi nilai 4, akhirnya tergelincir masuk ke zona merah.
Posisi tim kebanggaan bobotoh ini bisa terus melorot, bahkan hingga dasar klasemen, karena tiga tim di bawahnya, Pelita Jaya Karawang, Bontang FC, dan Persibo Bojonegoro masih akan bertanding pada saat Persib beristirahat hingga awal Januari mendatang. Meski sudah diduga dan hanya bersifat sementara, berita terjerumusnya Persib ke zona degradasi ini cukup mengguncang bobotoh dan publik sepak bola Bandung. Pasalnya, dengan materi pemain utama yang hampir semuanya berstatus sebagai anggota dan mantan pemain tim nasional, Persib dinilai tidak sepantasnya berada di posisi tersebut. Memang, LSI 2010-2011 masih sangat panjang. Persib sendiri masih punya 28 laga tersisa.
Namun tak urung, keterpurukan Persib hingga terjerembab di zona merah ini membuat bobotoh dan publik sepak bola Bandung khawatir. Kendati manajemen tim sudah berjanji segera melakukan evaluasi dan mengambil sejumlah langkah strategis untuk memperbaiki kinerja tim, kekhawatiran bobotoh akan terjadinya aib besar tidak mereda. Tidak memuaskannya performa tim asuhan Jovo Cuckovic di awal musim ini menjadi alasan utama kekhawatiran publik sepak bola Bandung ini.
Trauma 1978
Seluruh anggota skuad Persib, dari mulai pelatih, pemain, ofisial tim hingga petinggi klub, tidak boleh menyepelekan situasi buruk yang tengah dihadapi sekarang. Meskipun berulang kali selamat dari ancaman degradasi, sejarah mencatat, Persib pernah merasakan betapa menyakitkannya terlempar dari jajaran elit sepak bola nasional. Itu terjadi pada tahun 1978. Ketika itu, tepatnya pada tanggal 27 Januari 1978, Persib terpaksa harus bermain di babak "play-off" degradasi melawan Persiraja Banda Aceh karena hanya menempati peringkat ketiga penyisihan grup kompetisi sebelumnya.
Pertandingan melawan Persiraja ini merupakan perebutan peringkat ke-5 dan 6. Peringkat kelima bergabung dengan PSMS Medan, Persija Jakarta, Persebaya Surabaya, dan PSM Makassar di Kompetisi Divisi Utama Perserikatan yang baru pertama kali digelar. Sementara peringkat 6 harus bertarung di Kompetisi Divisi I Perserikatan. Sebagai catatan, pada musim 1978-1979 ini, PSSI mulai memberlakukan pembagian divisi di Kompetisi Perserikatan. Bertanding di Stadion Utama Senayan, Persib kalah 1-2 dari Persiraja. Gol harapan yang dicetak Max Timisela pada menit 10 dibalas dua gol oleh Bustaman pada menit 15 dan Tarmizi menit 39. Alhasil, Persib pun harus rela bertarung di Divisi I pada tahun 1979.
Meski disebabkan oleh perubahan format kompetisi yang dilakukan PSSI, tetap saja peristiwa ini menjadi bagian dari sejarah kelam Maung Bandung. Setelah kembali ke Divisi Utama pada tahun 1983 dan menemukan masa kejayaannya kembali (1986-1995), Persib mengalami penurunan prestasi pada Liga Indonesia (LI)V/1998-1999. Ancaman degradasi membayangi tim asuhan Suryamin setelah hanya mencatat hasil 2 kali menang, sekali seri dan 3 kalah pada 6 pertandingan pembuka babak penyisihan Grup B Wilayah Barat. Ketika itu, bobotoh sudah pasrah karena Persib tinggal menyisakan dua pertandingan lagi, bertandang ke Stadion Benteng Tangerang untuk menghadapi Persita dan menjamu Persija Jakarta di Stadion Siliwangi.
Persib masih dinaungi keberuntungan karena pada laga krusial melawan Persita, 7 Februari 1999, PerSib mencatat kemenangan 3-1 atas tuan rumah lewat dua gol Imam Riyadi menit 21 dan 65 serta Dadang Rusmana menit 72. Meski pada laga pamungkas dipermalukan Persija 1-3, Persib selamat dari ancaman degradasi. Musim berikutnya, LI VI/1999-2000, Suryamin masih dipertahankan. Karena tetap gagal mengangkat prestasi tim, kali ini Suryamin tak mampu lagi menghadapi tekanan publik. Setelah melewati lima pertandingan pembuka tanpa kemenangan, Suryamin menyatakan mengundurkan diri. Suryamin meninggalkan tim yang sedang terjebak di bawah bayang-bayang degradasi. Meskipun Indra M. Thohir masuk menggantikan Suryamin, Persib baru bisa lepas dari ancaman degradasi dalam empat laga pamungkas
setelah secara beruntun mencatat kemenangan kandang atas Persijatim Jakarta Timur 2-0 (28/5/2000), PSBL Bandar Lampung 3-0 (1/6/2000) dan Indocement Cirebon 1-0 (8/6/2000).
Sempat bersinar kembali di LI VII/2001 dengan lolos ke babak "8 Besar", ancaman degradasi kembali datang pada LI VIII/2002. Meski pasukan Deny Syamsudin mencatat rekor tak terkalahkan di kandang, hasil buruk pada saat "away" membuat Ansyari Lubis dan kawan-kawan terjebak di papan bawah. Persib baru terbebas dari kejaran hantu degradasi pada tanggal 5 Mei 2002, setelah mencatat kemenangan atas Persikab Kab. Bandung dengan "skor mencurigakan" 5-0.
Era pemain asing
Puncak keterpurukan Persib di era Liga Indonesia terjadi pada LI IX/2003. Hal itu terjadi justru pada saat Persib membuka keran terhadap pemain dan pelatih asing. Di tangan pelatih asal Polandia, Marek Andrezj Sledzianowski yang memboyong pemain asal negaranya, Mariusz Mucharski, Pawel Bocian, Piotr Orlinski, dan Maciej Dolega, Persib terjerembab di dasar klasemen karena tidak mampu mencatat sekalipun kemenangan dalam 12 laga yang dimainkannya. Pemecatan Marek yang untuk sementara digantikan duet pelatih Bambang Sukowiyono-Iwan Sunarya juga tak mampu mengangkat prestasi tim.
Di tengah kepanikan pengurus dan publik sepak bola Bandung akan bayang-bayang degradasi, Persib mendatangkan pelatih Cile, Juan Antonio Paez yang juga dengan pemain kompatriotnya, Alejandro Tobar, Claudio Lizama, Rodrigo Lemunao, dan Rodrigo Sanhueza. Meski berhasil meningkatkan performa tim, termasuk catatan 8 laga tak terkalahkan di putaran kedua, Paez hanya mampu mengangkat posisi tim ke peringkat 16, masih berada di zona degradasi.
Namun, keberuntungan datang lagi buat Persib. Secara mendadak, PSSI mengubah aturan promosi-degradasi dari 6 tim terbawah dari 20 peserta menjadi 4 tim. Sementara dua tim yang berada di peringkat ke-15 dan 16 masih diberi kesempatan memainkan laga "play-off" bersama peringkat ke-3 dan 4 Divisi I. Nah, di babak play-off yang digelar di Stadion Manahan Solo inilah, Persib bisa selamat setelah meraih dua kemenangan beruntun dari Persela Lamongan (14/10/2003) dan PSIM Yogyakarta (16/10/2003) dengan skor tipis 1-0.
Kebijakan kontroversial PSSI pada LI IX/2003 kembali terulang pada LI XII/2006 yang juga menyelamatkan Persib dari ancaman degradasi. Ketika itu, Persib yang sejak awal musim saat ditangani Risnandar Soendoro sudah terseok-seok, tetap berada di papan bawah meskipun pelatih sudah diganti oleh Arcan Iurie Anatolievici dari Moldova, diselamatkan keputusan PSSI yang meniadakan aturan promosi degradasi karena ada tiga dua tim Divisi Utama yang mengundurkan diri akibat gempa bumi di Yogyakarta dan sebagian Jawa Tengah.
Kini, di era Liga Super Indonesia (LSI), Persib kembali berurusan dengan persoalan degradasi setelah dalam dua musim pembuka selalu bercokol di papan atas. Kita semua berharap, Persib tidak lagi mengharapkan keberuntungan datang agar terlepas dari aib memalukan itu.***
Penulis adalah pengamat sepakbola nasional